I.ILMU KEDOKTERAN.
Abu Musa Jabir bin Hayyan (750 – 803 M)
Jabir bin Hayyan dikenal dengan nama Geber
di dunia Barat, diperkirakan lahir di Kuffah, Irak pada tahun 750 dan
wafat pada tahun 803 M. Kontribusi terbesar Jabir adalah dalam bidang
kimia. Keahliannya ini didapatnya dengan berguru pada Barmaki Vizier,
di masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid di Baghdad. Ia mengembangkan teknik
eksperimentasi sistematis di dalam penelitian kimia, sehingga setiap
eksperimen dapat direproduksi kembali. Jabir menekankan bahwa kuantitas
zat berhubungan dengan reaksi kimia yang terjadi, sehingga dapat
dianggap Jabir telah merintis ditemukannya hukum perbandingan tetap.
Kontribusi lainnya antara lain dalam penyempurnaan proses kristalisasi,
distilasi, kalsinasi, sublimasi dan penguapan serta pengembangan
instrumen untuk melakukan proses-proses tersebut.
Karya Jabir antara lain :
- Kitab Al-Kimya (diterjemahkan ke Inggris menjadi The Book of the Composition of Alchemy)
- Kitab Al-Sab’een
- Kitab Al Rahmah
- Al Tajmi
- Al Zilaq al Sharqi
- Book of The Kingdom
- Book of Eastern Mercury
- Book of Balance
Al-Rozi ( Rhases, 865 – 925 M )
Menulis sekitar 200 jilid buku yang paling terkenal berjudul
Al-Hawi tentang ilmu kedokteran. Raja Charles I memerintahkan untuk
menterjemahkan Al-Hawi ke dalam Bahasa latin pada tahun 1279 M dg judul
Liber Continens (buku yang dapat dipakai untuk seluruh benua). Sampai
tahun 1542 M Al Hawi masih diterjemahkan dalam bahasa-bahasa Eropa .
Tulisan Al-Razi tentang campak (gabak, measles) dan cacar (small pox)
diterjemahkan dalam bahasa Inggris sudah 40 kali cetak ulang sampai
tahun 1866 M.
Ali Abbas ( wafat 944 M )
Menulis encyeclopedia kedokteran dengan judul Al-Kitab Al-Maliki yang
diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan judul The Whole medical art.
Terjemahan bahasa latin dengan judul Liber Regius.
Ibnu Sina ( Avicenna, 980 – 1037 M )
Ar-Ra’is al-Husain bin Abdullah bin Ali al Hamadani, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Sina
lahir pada tahun 370 H / 980 M di sebuah desa bernama Afshanah, dekat
Bukhara yang saat ini terletak di pinggiran selatan Rusia. Ibnu Sina
adalah filosof dan ahli kedokteran muslim paling populer saat ini. Di
dunia Barat, Ibnu Sina dikenal dengan sebutan Avicenna. Di
usia 10 tahun, ia sudah fasih dalam membaca dan memahami Al-Quran serta
menguasai sebagian besar bahasa Arab serta sudah akrab dengan
pembahasan ilmiah terutama yang disampaikan oleh ayahnya. Kecerdasannya
yang sangat tinggi membuatnya sangat menonjol sehingga salah seorang
guru menasehati ayahnya agar Ibnu Sina tidak terjun ke dalam pekerjaan
apapun selain belajar dan menimba ilmu.
Dengan demikian, Ibnu Sina secara penuh
memberikan perhatiannya kepada aktivitas keilmuan. Kejeniusannya membuat
ia cepat menguasai banyak ilmu, dan meski masih berusia muda, beliau
sudah mahir dalam bidang kedokteran. Beliau pun menjadi terkenal,
sehingga Raja Bukhara Nuh bin Mansur yang memerintah antara tahun 366
hingga 387 hijriyah saat jatuh sakit memanggil Ibnu Sina untuk merawat
dan mengobatinya.
Berkat itu, Ibnu Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan istana Samani
yang besar. Ibnu Sina mengenai perpustakan itu mengatakan demikian;
“Semua buku yang aku inginkan ada di
situ. Bahkan aku menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak
pernah mengetahui namanya. Aku sendiri pun belum pernah melihatnya dan
tidak akan pernah melihatnya lagi. Karena itu aku dengan giat membaca
kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin memanfaatkannya… Ketika usiaku
menginjak 18 tahun, aku telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu.”
Ibnu Sina menguasai berbagai ilmu seperti hikmah, mantiq, dan
matematika dengan berbagai cabangnya.
Kesibukannya di pentas politik di istana
Mansur, raja dinasti Samani, juga kedudukannya sebagai menteri di
pemerintahan Abu Tahir Syamsud Daulah Deilami dan konflik politik yang
terjadi akibat perebutan kekuasaan antara kelompok bangsawan, tidak
mengurangi aktivitas keilmuan Ibnu Sina. Bahkan safari panjangnya ke
berbagai penjuru dan penahanannya selama beberapa bulan di penjara Tajul
Muk, penguasa Hamedan, tak menghalangi beliau untuk melahirkan ratusan
jilid karya ilmiah dan risalah.
Ketika berada di istana dan hidup tenang
serta dapat dengan mudah memperoleh buku yang diinginkan, Ibnu Sina
menyibukkan diri dengan menulis kitab Qanun dalam ilmu kedokteran atau
menulis ensiklopedia filsafatnya yang dibeni nama kitab Al-Syifa’. Namun
ketika harus bepergian beliau menulis buku-buku kecil yang disebut
dengan risalah. Saat berada di dalam penjara, Ibnu Sina menyibukkan diri
dengan menggubah bait-bait syair, atau menulis perenungan agamanya
dengan metode yang indah.
Di antara buku-buku dan risalah yang
ditulis oleh Ibnu Sina, kitab al-Syifa’ dalam filsafat dan Al-Qanun
dalam ilmu kedokteran dikenal sepanjang massa. Al-Syifa’ ditulis dalam
18 jilid yang membahas ilmu filsafat, mantiq, matematika, ilmu alam dan
ilahiyyat. Mantiq al-Syifa’ saat ini dikenal sebagai buku yang paling
otentik dalam ilmu mantiq islami, sementara pembahasan ilmu alam dan
ilahiyyat dari kitab al-Syifa’ sampai saat ini juga masih menjadi bahan
telaah.
Dalam ilmu kedokteran, kitab Al-Qanun
tulisan Ibnu Sina selama beberapa abad menjadi kitab rujukan utama dan
paling otentik. Kitab ini mengupas kaedah-kaedah umum ilmu kedokteran,
obat-obatan dan berbagai macam penyakit. Seiring dengan kebangkitan
gerakan penerjemahan pada abad ke-12 masehi, kitab Al-Qanun karya Ibnu
Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Kini buku tersebut juga sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis dan Jerman. Al-Qanun
adalah kitab kumpulan metode pengobatan purba dan metode pengobatan
Islam. Kitab ini pernah menjadi kurikulum pendidikan kedokteran di
universitas-universitas Eropa.
Ibnu juga memiliki peran besar dalam
mengembangkan berbagai bidang keilmuan. Beliau menerjemahkan karya
Aqlides dan menjalankan observatorium untuk ilmu perbintangan. Dalam
masalah energi Ibnu Sina memberikan hasil penelitiannya akan masalah
ruangan hampa, cahaya dan panas kepada khazanah keilmuan dunia.
Dikatakan bahwa Ibnu Sina memiliki karya
tulis yang dalam bahasa latin berjudul De Conglutineation Lagibum. Dalam
salah bab karya tulis ini, Ibnu Sina membahas tentang asal nama
gunung-gunung. Pembahasan ini sungguh menarik. Di sana Ibnu Sina
mengatakan, “Kemungkinan gunung tercipta karena dua penyebab. Pertama
menggelembungnya kulit luar bumi dan ini terjadi lantaran goncangan
hebat gempa. Kedua karena proses air yang mencari jalan untuk mengalir.
Proses mengakibatkan munculnya lembah-lembah bersama dan melahirkan
penggelembungan pada permukaan bumi. Sebab sebagian permukaan bumi keras
dan sebagian lagi lunak. Angin juga berperan dengan meniup sebagian dan
meninggalkan sebagian pada tempatnya. Ini adalah penyebab munculnya
gundukan di kulit luar bumi.”
Ibnu Sina dengan kekuatan logikanya
-sehingga dalam banyak hal mengikuti teori matematika bahkan dalam
kedokteran dan proses pengobatan- dikenal pula sebagai filosof tak
tertandingi. Menurutnya, seseorang baru diakui sebagai ilmuan, jika ia
menguasai filsafat secara sempurna. Ibnu Sina sangat cermat dalam
mempelajari pandangan-pandangan Aristoteles di bidang filsafat. Ketika
menceritakan pengalamannya mempelajari pemikiran Aristoteles, Ibnu Sina
mengaku bahwa beliau membaca kitab Metafisika karya Aristoteles sebanyak
40 kali. Beliau menguasai maksud dari kitab itu secara sempurna setelah
membaca syarah atau penjelasan ‘metafisika Aristoteles’ yang ditulis
oleh Farabi, filosof muslim sebelumnya.
Dalam filsafat, kehidupan Abu Ali Ibnu
Sina mengalami dua periode yang penting. Periode pertama adalah periode
ketika beliau mengikuti faham filsafat paripatetik. Pada periode ini,
Ibnu Sina dikenal sebagai penerjemah pemikiran Aristoteles. Periode
kedua adalah periode ketika Ibnu Sina menarik diri dari faham
paripatetik dan seperti yang dikatakannya sendiri cenderung kepada
pemikiran iluminasi.
Berkat telaah dan studi filsafat yang
dilakukan para filosof sebelumnya semisal Al-Kindi dan Farabi, Ibnu Sina
berhasil menyusun sistem filsafat islam yang terkoordinasi dengan rapi.
Pekerjaan besar yang dilakukan Ibnu Sina adalah menjawab berbagai
persoalan filsafat yang tak terjawab sebelumnya.
Pengaruh pemikiran filsafat Ibnu Sina
seperti karya pemikiran dan telaahnya di bidang kedokteran tidak hanya
tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah Eropa. Albertos Magnus,
ilmuan asal Jerman dari aliran Dominique yang hidup antara tahun
1200-1280 Masehi adalah orang Eropa pertama yang menulis penjelasan
lengkap tentang filsafat Aristoteles. Ia dikenal sebagai perintis utama
pemikiran Aristoteles Kristen. Dia lah yang mengawinkan dunia Kristen
dengan pemikiran Aristoteles. Dia mengenal pandangan dan pemikiran
filosof besar Yunani itu dari buku-buku Ibnu Sina. Filsafat metafisika
Ibnu Sina adalah ringkasan dari tema-tema filosofis yang kebenarannya
diakui dua abad setelahnya oleh para pemikir Barat.
Bukunya Al-Qonun fit Thib (Canon of
Medicine) diterjemahkan dalam berbagai bahasa Eropa. Buku ini menjadi
buku induk mahasiswa kedokteran waktu itu. Buku ini tak henti-hentinya
dibaca, dipelajari, diterjemahkan, diterbitkan, didiskusikan sampai abad
ke-18 M. Selama 4 abad, Alqonun fit Thib adalah text book dari ilmu
kedokteran Eropa. Bahkan sampai tahun 1930 masih diterjemahkan dalam
bahasa Inggris dalam bentuk fragmen-fragmen. Beliau mendapat julukan
Father of Doctors. Donald Campbell mengatakan : “ Eropa pada abad
pertengahan memandang ilmu pengobatan Arab dengan rasa takut bercampur
hormat dan Cordova dipandang dengan rasa kagum oleh orang-orang Eropa
yang terpelajar. Sampai akhir abad ke-16, rencana pengajaran dalam ilmu
pengobatan pada universitas-universitas Eropa membutuhkan pengetahuan
tentang Canon Avicema (Alqonun fit Thib) “.
Ibnu Sina wafat pada tahun 428 hijriyah
pada usia 58 tahun. Beliau pergi setelah menyumbangkan banyak hal kepada
khazanah keilmuan umat manusia dan namanya akan selalu dikenang
sepanjang sejarah. Ibnu Sina adalah contoh dari peradaban besar Iran di
zamannya.
Ali bin Isa ( Jesu Haly )
Bukunya tentang ophthalmology menjadi text book di fakultas-fakultas kedokteran Eropa sampai tahun 1900 M.
Al-Hasan Ibnu Haytam ( Al-Hazen, lahir 965 M )
Ahli matematika dan fisika. Salah satu bukunya tentang optics, menjadi
pedoman sarjana-sarjana Eropa, diantaranya adalah Roger Bacon dan Johan
Kepler. Al-Hazen sudah membahas tentang lensa sspheris dan lensa
cylinder, tentang dioptri, focus, magnify, inversi gambar, spectrum
cahaya, tentang gerhana dan sebagainya dengan analisa dan uraian
matematis yang akurat. Kacamata, lensa untuk microscope dan lensa
telescope adalah hasil pemikiran Al-Hazen.
Ibnu Rusd ( avenrroes wafat 1198 M )
Ahli filsafat yang mengantarkan Eropa ke pintu gerbang Renaisance. Buku
kedokterannya “ Kulliyat Fitthib “, diterjemahkan dalam bahasa Latin
dengan judul Colliget dan dalam bahasa Inggris dengan judul General
Rulles of Medicine.
Demikian pula sederet nama-nama penting, misalnya Al-Biruni, Ibnu Zuhr, Al-Baytar, Ali Ibnu Ridwan, Abul Cassis, Jabir dll.
Prof. Charles Singer berkomentar : “ Ilmu anatomi
dan ilmu kedokteran yang sebenarnya tidak ada. Ilmu mengenal penyakit,
dipergunakan dengan cara yang bukan-bukan, dengan jengkalan jari. Orang
hanya menggunakan tumbuh-2an dan menjadi tukang jual obat. Tahayul adalah masuk salah satu obat-obatan.
Obat2-an terdiri dari kumpulan ramu-ramuan, diperkuat dengan mantera.
Ilmu pengetahuan yang menjadi urat nadi ilmu pengobatan, sama sekali
tidak ada. Ilmu kedokteran Eropa adalah pelajaran yang diperoleh dari
orang Islam. “ *)
Dr. Max Mayerhof mengatakan
: “ Kedokteran Islam dan Ilmu pengetahuan umumnya, menyinari matahari
Hellenisme hingga pudar cahanya. Kemudian, ilmu Islam menjadi bulan di
malam gelap Eropa abad pertengahan. Cahaaaya bulan ditaburi cahaya
bintang dimalam gelap Eropa iiitu mengantar ke jalan Renaisance. Karena
itulah Islam menjadi biang gerak besar, yang dipunyai Eropa sekarang.
Dengan demikian, pantas kita menyatakan Islam harus tetap bersama
kita.”*)
Rom Landau mengatakan : “ Sekolah-sekolah tinggi
kedokteran yang terpenting di Eropa belum tentu dilahirkan, jika tidak
karena dorongan ilmu pengetahuan Arab. Ketika sekolah-sekolah tinggi
yang seperti itu didirikan di Paris ( 1110 M ), Bologna ( 1113 M ),
Montpellier ( 1181 M ), Padua ( 1222 M ) dan Naples ( 1224 M ), rencana
pengajarannya seluruhnya dikuasai oleh ilmu pengobatan Arab ( Muslim )
“.
II. ILMU MATEMATIKA
Al-Khawarismi
Algorithm ( Logaritma ) adalah berasal dari Al-Khawarismi. Karangan
Khawarismi dianggap dasar asasi bagi matematika yang kita kenal dewasa
ini. Beliaulah yang menemukan aljabar. Kitabnya yang berjudul
Hisabaljabarwal Muqabalah ( The Mathematic of integration and equation )
adalah buku pertama/tertua dibidang aljabar. Gerad of Cremona
menterjemahkan buku ini dan memasukkan aljabar ke Eropa hingga menjadi
referensi utama bidang aljabar pada universitas-universitas Eropa sampai
abad XVI. Dia menemuka angka “nol” yang dengan angka itu matematika dan
ilmu pengetahuan alam lainnya dimungkinkan untuk bergerak melaju dengan
pesat. Tanpa angka nol, ilmu pengetahuan dan peradaban akan sangat
sulit untuk maju. Dua setengah abad sesudah bangsa-bangsa Arab
menggunakan angka nol, barulah bangsa-bangsa Barat menggunakannya.
AlBattani ( 858 – 929 M )
Beliau penemu “Trigonometri” Prof. Carra de Vaux menyatakan : “ Teori
ini sudah lebih jauh dari apa yang didapat ahli bintang Yunani “*) .
Teori Al-Battani-lah yang mengatarkan kita ke abad ilmu pengetahuan
modern sekarang.
Abul Wafa ( 940 – 998 M )
Abul Wafa yang pertama menemukan rumus Sinus, Tangens, Cotangens, Secans
dan Cosecans. Beliau menyempurnakan teori trigonometri dari Al-Battani.
Prof. Carra de Vaux
menyatakan pula : “ Selama dua abad belakangan ini, bentuk akhir teori
Abul Wafa telah kita peroleh. Dengan inilah kita sekarang membentuk
peradaban kita. Pendapat-pendapat yang telah menciptakan dan membuat
jalan baru ini, sebenarnyalah orang-orang yang mempunyai otak maha
perkasa, baik dalam ilmu filsafat, pengetahuan umum, maupun dalam
pengetahuan rohani dan ilmu alam “ .*).
Selain tiga tokoh peletak dasar –dasar
matematika tersebut, perlu dicatat pula tokoh-tokoh lainnya, seperti :
Omar al-Khayyam, Tsabit bin Qurro, Abu Jakfar al-Khurasani, Jaber,
Al-Farghoni ( Al-Fraganus ), Banu Musa, Alzarkali ( Alzachel ),
Nasiruddin Tusi dan lain-lain. Tokoh-tokoh ini selain sebagai para ahli
pendahulu dibidang matematika, aljabar, trigonometry, geometry, ilmu
ukur analitis dan sebagainya, merekapun ahli-ahli astronomi ( sebagian
mempunyai observatorium sendiri ).
Sebagai kesimpulan, Prof Carra de Vaux menyatakan : “ Sebenarnya, orang
Islam telah memperoleh kemajuan pesat dalam lapangan ilmu pengetahuan.
Mereka mengajar kita berhitung, sehingga kita dapat berhitung. Mereka
mendapat ilmu aljabar dan ilmu pasti. Mereka memacu dan melanjutkannya,
sehingga diperolehnya pula ilmu ukur analytic. Tidak ada pertikaian
faham, merekalah pertama kali mendapat ilmu Planimetri dan trigonometry.
Ilmu-ilmu ini belum pernah diketahui orang Yunani sebelumnya. “*)
*) Kultur Islam, cetakan I, 1964, oleh dr Oemar Amin Husin.
III. ILMU FILSAFAT
Al-Kindi (801 – 873 M)
Al-Kindi (يعقوب بن اسحاق الكندي)
(lahir: 801 – wafat : 873 M), bisa dikatakan merupakan filsuf pertama
yang lahir dari kalangan Islam. Semasa hidupnya, selain bisa berbahasa
Arab, ia juga mahir berbahasa Yunani. Banyak karya-karya para filsuf
Yunani diterjemahkannya dalam bahasa Arab; selain itu ia juga
menerjemahkan buku-buku dari bahasa Parsi, Syria dan Mesir ke dalam
bahasa Arab. Konon ia diberi honor oleh pihak penguasa dengan emas
seberat buku yang diterjemahkannya.
Al-Kindi berasal dari kalangan bangsawan,
dari Irak. Ia berasal dari suku Kindah, hidup di Basrah dan meninggal
di Baghdad pada tahun 873 M. Al Kindi menuliskan banyak karya dalam
berbagai bidang, geometri, astronomi, astrologi, aritmatika, musik (yang
dibangunnya dari berbagai prinsip aritmatis), fisika, medis, psikologi,
meteorologi, dan politik. Pengetahuan Al-Kindi yang sangat luas dan
berneka ragam dapat diukur dengan hasil kerja yang meliputi banyak
bidang ilmu. Ia menulis sebanyak 270 buku dalam pelbagai bidang
pengetahuan sejak berusia 19 tahun. Buku-buku sebanayk itu dihasilkannya
dalam kurun waktu 48 tahun. Sayang, kebanyakan karya al-Kindi lenyap
bersama rntuhnya Baghdad akibat serangan Mongol. Dari jumlah tersebut,
sebanyak 25 buah ditemukan di musium Istanbul, Turki.
Ia membedakan antara intelek aktif dengan
intelek pasif yang diaktualkan dari bentuk intelek itu sendiri. Argumen
diskursif dan tindakan demonstratif ia anggap sebagai pengaruh dari
intelek ketiga dan yang keempat. Dalam ontologi dia mencoba mengambil
parameter dari kategori-kategori yang ada, yang ia kenalkan dalam lima
bagian: zat(materi), bentuk, gerak, tempat, waktu, yang ia sebut sebagai
substansi primer.
Al Kindi mengumpulkan berbagai karya
filsafat secara ensiklopedis, yang kemudian diselesaikan oleh Ibnu Sina
(Avicenna) seabad kemudian. Ia juga tokoh pertama yang berhadapan dengan
berbagai aksi kejam dan penyiksaan yang dilancarkan oleh para bangsawan
religius-ortodoks terhadap berbagai pemikiran yang dianggap bid’ah, dan
dalam keadaan yang sedemikian tragis (terhadap para pemikir besar
Islam) al Kindi dapat membebaskan diri dari upaya kejam para bangsawan
ortodoks itu.
Ibnu Sina ( 980 – 1037 M )
Selain
mendapat julukan father of doctors, beliau juga diakui sebagai seorang
filsuf besar yang amat berpengaruh. Selain Al-qonum Fitthib yang sangat
dikenal, karya tulis beliau yang berjudul : “ As-Syifaa “, merupakan
encyclopedia besar tentang ilmu kedokteran, filsafat dan ilmu pasti.
As-Sifaa terdiri dari 18 jilid dan masih dicetak di Leiden sampai tahun
1982 M. Pengaruh Ibnu Sina ( Avicenna ) sangat besar dikalangan para
filsuf barat. Dante meletakkan Ibnu Sina sdi satu kedudukan antara
Hipocrates dan Galenus. Scalinger berpendapat, bahwa Ibnu Sina adalah
tandingan Galenus dalam ilmu kkedokteran dan melebihinya dalam ilmu
filsafat.
“ Sejak awal abat 13, pengajaran di
Universita Paris dipengaruhi oleh karya-karya filsafat yang baru
ditemukan. Dari pihak gereja beberapa kali dilarang untuk membahas
karya-karya Aristoteles ( yang diperkenalkan oleh filsif-filsuf Muslim )
dalam kuliah. Tapi larangan ini tidak dapat menghindarkan bahwa
pengaruh Aristoteles dan filsuf Arab semakin bertambah. Perkembangan
yang sama terdapat juga di Universitas Oxford “. Demikian Dr. Kees
Bertens dalam “Ringkasan Sejarah Filsafat, yayasan Kanisius edisi II,
1979, hal. 33.
Al-Rusyd ( Averoes, benroyst, liverays, 1126 – 1198 )
Filsuf dan dokter kelahiran cordova ini nama lengkapnya adalah Abul
Walid Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd. Beliaulah penganalisa dan pengulas
filsafat Aristoteles yang paling mendalam hingga dijuluki “Sang
Komentator “. Komentar-2 nya sangat dihargai dalam dunia Skolastik
dikemudian hari dan digunakan secara intensif.Oleh
karenanya dalam dunia skolastik waktu abad pertengahan Ibnu Rusyd
biasanya diberi gelar “ Sang Komentator “. Dr. Kees Bertens : “ Aliran
filsafatnya yang disebut Averoisme telah mengantarkan Eropa ke pintu
gernag Renaissance. Alam pikiran seluruh universitas di Eropa
terpengaruh oleh Averoisme karena mmereka mempelajari filsafat
Aristoteles atas dasar komentar, tafsiran dan analisa dari Ibnu Rusyd “.
Dr Philips mengatakan : “ Barat bersandar dalam banyak keadaan kepada
terjemahan Latin yang disalin dari bahasa Hebrew. Dan terjemahan inipun
disalin pula dari ulasan bahasa Arab atas terjemahan yang ada, yang
tadinya disalin pula dari bahasa Suryani. Salinan kedalam bahasa Suryani
diambil dari bahasa Yunani. Tetapi sekalipun demikian, ahli filsafat
Masehi telah terpengaruh dengan Aristo dan Ibnu Rusyd lebih daripada
pengaruhnya pengarang-pengarang lain. Filsafat Ibnu Rusyd senantiasa
berkuasa atas alam pikiran dari mulai akhir abad XII sampai akhir abad
XVI.
Pengikut gereja segaja kembali kepada tulisan-tulisan Ibnu Rusyd.
Tetapi mereka membuang dari ajaran-ajaran itu apa yang tidak mereka
sukai menurut pendapat mereka. Kmudian setelah pembersihan itu, barulah
mereka jadikan pelajaran di Universitas2dan perguruan2 tinggi di Eropa.”
**)
Dalam pada itu Renan berkata : “ Filsafat
Ibnu Rusyd itu adalah satu filsafat resmi yang semua para intelek di
Italia berhutang budi kepadanya. Telah jelas bahwa pikiran-pikiran Ibnu
Rusyd senantiasa mempunyai pengaruh diatas alam pikiran Eropa sepanjang
masa empat abad lamanya. Dan ia telah meletakkan dasar azasi bagi
kebangkitan Eropa “.**)
Ket : **) MM Sharif, Muslim thought, its
origin and achievement, terjemahan Prof. Fuad M. Fachrudin, Alam Pikiran
Islam, hal, 161.
Al-Ghozali ( 1058 – 1109 M )
Beliau digelari sebagai Hujjatul Islam. Al-Ghozali seorang ahli fiqih,
filsuf dan ahli tasawuf. Terdapat 70 buah karangan beliau yang
menyangkut bidang fiqih, filsafat dan tassawuf yang banyak diterjemahkan
kedalam bahasa-bahasa Latin, Perancis, Inggris, Jerman. Filsafat
Al-Ghozali lebih banyak bertentangan dengan aliran filsafat masa itu.
Bukunya Tahafutul Falasifa, banyak diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa
Eropa dan dipergunakan oleh kaum gereja/Kristen sebagai bahan dan
resensi utama dalam mempertahankan diri dari arus gelombang filsafat
Averroisme yang menguasai alam pikiran Eropa pada waktu itu.
Adapun di Timur, terutama Indonesia,
sampai saat ini hampir tidak ada seorang Muslim yang terpelajar yang
belum kenal dengan Ihya’Al-Ghozali ( Ihya Ulumiddin ) atau
bagian-bagiannya.
Ibnu Khaldun ( 1332 – 1406 M )
Beliau adalah konseptor pertama historiografi dan filsafat sejarah .
Ibnu Khaldun memandang sejarah tidak hanya kumpulan kisah secara
kkronologis yang fakta sejarahnya sering dicemari oleh sibjektivitas dan
khayalan pengarangnya. Ibnu Khaldun meneliti sejarah dengan
kaidah-kaidah yang bersifat obyektif ilmiah dalam pengumpulan fakta,
pengamatan fakta, pengujian dan analisa fakta serta interaction antara
fakta-kakta, perilaku social/kemasayrakatan, tradisi-tradisi dan
lingkungan alamiah, kemudian menyimpulkannya secara logical induktif.
Muqodimah Ibnu Khaldun sangat dikenal dan diterjemahkan dalam bahasa
Inggris, Jerman dan Perancis. Terjemahan bahasa Inggris terbaru
dilakukan oleh Prof Frans Rosenthal dari Yale University ( 1958 ).
Muqodimah sebagai suatu introduksi lebih popular daripada judul bukunya
yang panjang dan disingkat Al’ibar sebanyak tujuh jilid.
Bersama filsuf lain yang lain misalnya,
Al-Kindi ( Alchenddius 873 M ), Al-Farabi ( Al Farabius 950 M ), Ibnu
Maskawaih ( 1030 M ), Ibnu Al-Haitam ( Al Hazen 1039 M ), Ibnu Bajah (
Avenpace 1138 M ), MM Syarif dalam bukunya “ A History of Muslim
Philosophy, book two, Cahpter LXVIII, Influence of muslim thought on the
west, Wiesbaden 1966, hal 1349, dengan data-data authentic memberikan
uraian dan analisa panjang lebar serta membuat resume sebagai berikut :
Pemikiran Failasuf-failasuf Muslim mempengaruhi alam pikiran barat dalam beberapa jalan :
1.Dimulainya gerakan-gerakan kemanusiaan
2.Memperkenalkan ilmu sejarah
3.Memperkenalkan metode-metode ilmiah
4.Membantu para cendekiawan barat untuk menemukan harmonisasi antara filsafat dengan keimanan
5.Merangsang gerakan mistik barat
6.Meletakkan dasar-dasar renaissance
Italy dan dalam tingkat tertentu membentuk alam pikiran barat modern
sampai masa Immanuel Kant, dalam beberapa hal tertentu sampai
sesudahnya.
Mulla Shadra (1571 – 1640 M)
Akhund
Shadrud-Din asy-Syrazi al-Qummi, atau mashur dengan julukan Mulla
Shadra adalah salah seorang filosof Islam yang paling terkenal, yang
dilahirkan pada 979 H (1571 M) di Syiraz (Iran Selatan), salah
satu kota yang terkenal di Iran. Ia adalah anak tunggal dari salah satu
bangsawan kota tersebut (tampaknya pejabat menteri di provinsi Fars),
bernama Ibrahim Qawami. Ia dinamai Muhammad namun orang-orang
memanggilnya Shadruddin atau shadra. Belakangan, ia terkenal sebagai
Mulla Shadra, dan bahkan digelari Shadr al-Muta’alihin (gelar yang
paling terkenal di kalangan filosof).
Selama masa pemerintahan dinasti Shafawi, Syiraz dianggap sebagai salah
satu pusat ilmu dan filsafat terpenting di dunia. Kota ini pun merupakan
pusat pelatihan bagi sebilangan ilmuwan besar selama dua abad lebih.
Shadra muda amat berbakat sehingga mampu menyerap semua ilmu di zamannya
dalam waktu relatif singkat. enam tahun setelah kelahiran Mulla Shadra,
keluarga tersebut pindah ke kota Qazwin.
Kota tersebut telah berubah pesat menjadi sebuah pusat sains dan
filsafat di era dinasti Shafawi. Ia menjadi tempat perkumpulan bagi para
filosof masyhur, fakih, sastrawan, dan seniman. Sejak usia dini, Mulla
Shadra –yang telah menguasai semua sains di zamannya selama kurang dari
20 tahun- bisa segera menjumpai dua guru terbaik di zamannya, yakni
Syaikh Baha’i dan Mir Damad. Dua tokoh ini memiliki catatan brilian
dalam sejarah dan dinilai sebagai dua pemikir dan tokoh politik yang
paling istimewa di zaman mereka. Mulla Shadra meradukan pendidikannya di
bawah tempaan kedua figur besar ini.
Di usia sekitar 30 tahun, ia telah menjadi filosof yang paling mahir,
yang menguasai utuh semua mazhab filsafat di zamannya termasuk aliran
Iluminasionisme, Peripatetisme, Teologi Islam, dan ’Irfan. Shadra pun
telah sampai pada senarai inferensi dan kesimpulan melalui
kajian-kajiannya dan mengembangkan ide-ide dan teori-teorinya sendiri,
yang menjadi alasan mengapa ia dinilai sebagai seorang filsuf paling
terkemuka di dunia belakangan ini.
Mulla Shadra menunjukkan kepiawaiannya di Syiraz –yang masih dihitung
sebagai pusat penting filsafat dan teologi- dan menarik sejumlah besar
murid dan pengikut. Buntutnya, sejumlah sejawatnya mencemburuinya dan
menjadikannya sebagai sasaran tindakan dan kata-kata mereka yang kurang
baik dan ofensif. Melihat kondisi demikian, Mulla Shadra memutuskan
meninggalkan kotanya dan menemukan tempat uzlah di desa Kahak di sekitar
pusat agama, Qum.
Jiwa Shadra tersiksa dan terluka sehingga ia menyerah untuk mengajar,
menulis, dan mempelajari selama beberapa waktu dan lebih mencurahkan
diri pada ibadah dan praktik-praktik kezuhudan sebagaimana telah
dibiasakannya sejak usia muda. Tapi, ini tidak berlangsung selamanya.
Mimpi-mimpi dan intuisi-intuisi mistisnya mengilhami Shadra untuk
menyebarkan ide-idenya. Dari itu, ia kembali kepada kehidupan sosial dan
bergaul di tengah orang-orang lagi serta mulai mengajar dan menulis
buku-buku. Karya-karya terbaik dan terpentingnya digubah selama masa
ini. Pada dasawarsa akhir hidupnya, Mulla Shadra kembali ke Syiraz dan
mulai mengajar di sebuah sekolah yang secara khusus didirikan untuknya
oleh penguasa kota tersebut. Ia menulis sejumlah ulasan al-Quran dan
hadits selama periode itu. Di tahun 1050 H/1648 M atau sebagian lain di
tahun 1045 H/1630 M, ia jatuh sakit dalam perjalanannya untuk berhaji di
Basrah, Irak dan akhirnya wafat. Ia disemayamkan di kota suci Najaf,
Irak, tempat makam Imam Ali berada.
Mulla Shadra meninggalkan tiga putri dan dua putra. Putra tertuanya
adalah (Mulla) Ibrahim, seorang filosof, muhadits, mutakallim, fakih dan
mistikus dengan bakat kepenyairan yang menonjol, matematikawan, dan
menguasai ilmu-ilmu lain. Singkatnya, ia seorang ulama prolifik. Putra
keduanya, Nizamuddin Ahmad –lebih dikenal sebagai Mirza Nizam dan Abu
Turab- yang lahir 1031 H (menurut catatan), adalah seorang filosof,
mistikus, sastrawan, dan penyair. Tiga putrinya adalah Ummah Kultsum,
Zubaidah dan Ma’shumah. Dua dari putrinya ini menikah dengan Syaikh
Abdurrazak Lahiji, dikenal sebagai Faidh, dan Mulla Muhsin Faidh
al-Kasyani- merupakan murid-murid favoritnya dan tergolong sebagai ulama
yang menguasai bidang filsafat, ’irfan, dan ilmu-ilmu Islam. Baik
anak-anak maupun menantu Mulla Shadra tergolong sebagai ulama terpandang
di masanya yang menguasai ilmu-ilmu Islam tradisional.
Mulla Shadra bukan sekedar filosof paling terkenal selama enam abad
terakhir. Bagi sebagian orang ia telah dianggap setara dengan Ibn Sina
dan al-Farabi, bahkan melampaui keduanya. Meskipun ia menguasai semua
mazhab filsafat di zamannya (Peripatetik, Iluminasionisme, Teologi Islam
dan ’Irfan), ia tak pernah secara total dipengaruhi semuanya dan
meretas mazhab filsafatnya sendiri, yakni filsafat transenden (al-hikmah
al-muta’aliyah). Ia mengkritik semua titik lemah yang disuguhkan oleh
filsuf agung sebelumnya dan mencoba menyajikan sejumlah pemecahan
filosofis atas masalah-masalah tersebut.
Dalam risalahnya, Mulla Shadra telah menampilkan prinsip-prinsip umum
dan khususnya sendiri yang jumlahnya lebih dari 150 masalah, ide dan
teori. Di pusat-pusat filsafat, bagaimanapun, sekitar sepuluh teori atau
gagasannya yang paling pokok dan terkenal dianggap telah menyumbangkan
landasan bagi mazhabnya sendiri, seperti prinsip ashalah al-wujud,
tasykik al-wujud, prinsip kebenaran yang paling sederhana, kesatuan
subjek dan objek pengetahuan (ittihad al-’aqil wa al-ma’qul), gerakan
transubstansial (al-harakah al-jawharriyah), imaterialitas dunia
imajinasi, dan lain-lain.
Murid-muridnya
Bukti-bukti menyebutkan bahwa ia senantiasa mengajar. Sebab itu, banyak
muridnya yang tercatat dalam sejarah. Sebagian diantaranya adalah:
1. Faidh al-Kasyani (Muhammad bin Murtadha, dikenal sebagai Mulla Muhsin).
Dalam doktrin filsafat, ia tidak begitu terkenal. Ia mempunyai cita rasa
mistik dan cenderung kepada hadits dan etika. Karya-karyanya yang
terkenal adalah: Al-Wafi, sebuah karya tafsir; Ash-Shafi, bidang etika;
Al-Mahajjat Al-Baydha’, diasaskan pada Ihya’ ’Ulum al-Din-nya
al-Ghazali, dan Ushul al-Ma’arif, dalam sains. Titimangsa kelahirannya
tahun 1007 H (sebagian menganggap sekitar tahun 1004 atau 1005). Adapun
tahun wafatnya sekitar 1091 H. Sebagian karyanya yang terdiri dari 80
buku dengan jumlah volume yang berbeda-beda mempresentasikan dirinya
sebagai orang yang memiliki citarasa mistis dan puitis. Dalam beberapa
hal ia dapat disetarakan dengan al-Ghazali meski ia lebih mendalam dan
komprehensif pembahasannya ketimbang al-Ghazali. Faidh bisa dianggap
sebagai filsuf agung, dan di saat yang sama, seorang mistikus utuh, dan
teolog paling berilmu. Tidak seperti al-Ghazali yang pernah menjadi
pejabat tinggi negara (sebagai hakim), Faidh justru menolak posisi
demikian. Hidupnya semata-mata dicurahkan untuk meneliti, mengajar, dan
menulis di desa terpencil dan menolak pengangkatan dirinya Imam shalat
Jum’at di Isfahan oleh Syah Shafi. Meski pada akhirnya, ia terpaksa
menerima posisi tersebut pada masa Syah Abbas II. Setelah belajar di
bawah bimbingan Mulla Shadra selama 8 tahun dan kemudian menjadi
menantunya serta tinggal bersamanya di Syiraz beberapa tahun, Faidh
al-Kasyani pulang ke Isfahan. Di sana, ia mulai mempromosikan
doktrin-doktrin gurunya di bidang filsafat dan hadits.
2. Abdurrazaq Lahiji
Ia murid Shadra yang tersohor sebagai filosof, mutakallim dan penyair
yang piawai. Kepastian kelahirannya tidak jelas. Diduga –sebagaimana ia
tulis sendiri- ia lahir pada 1072 (1662 M), atau 1071 atau 1051. Selama
di Qum, ia bergaul akrab dengan gurunya, Mulla Shadra. Kepadanya, Lahiji
mempelajari filsafat, kalam, mistisisme, logika, dan penyucian jiwa
selama beberapa tahun. Murid dan menantu Shadra, tidak seperti Faidh
yang menguasai tafsir dan hadits, lebih dikenal sebagai penyair ulung.
Ia mempunyai koleksi syair yang disambut baik oleh para sastrawan.
Karya-karya berharganya meliputi ilmu kalam dan filsafat, diantaranya,
Masyariq al-Ilham wa al-Syawariq, sebuah karya atas karya komentar
ath-Thusi terhadap Al-Isyarat wa al-Tanbihat-nya Ibn Sina; Gowhar Murad
(dalam bahasa Persia), dan sebuah ringkasan atasnya Sarmayeh-i Iman; dan
sebuah karya syarah atas Hayakil al-Nur (Kuil Cahaya)-nya Suhrawardi
yang menunjukkan kepenguasaan atas hikmah Iluminasionis. Ini menunjukkan
fakta bahwa dalam mazhab Mulla Shadra, hikmah Iluminasionis dipelajari,
diajarkan, dan ditulis. Murid-murid tersebut telah menerima sikap dari
gurunya.
3. Murid lain, yang tidak terkenal seperti dua murid di atas adalah
Mulla Husain Tunkabuni. Ia seorang filosof-mistik. Ia sangat akurat
dalam karya-karyanya dan setia kepada doktrin-doktrin gurunya. Tunkabuni
wafat sekitar tahun 1101 H/1105. Kematiannya disebabkan serangan
sekelompok massa di Masjid al-Haram. Ia mengomentari al-Syifa’-nya Ibn
Sina, menulis sebuah buku tentang keterciptaan dunia secara temporer dan
kesatuan eksistensi, dan ulasan atas karya komentar Khafri tentang
Tajrid al-Ulum.
4. Filsuf lain yang disebutkan dalam sejarah sebagai murid Mulla Shadra
adalah Aqa Jani (atau Muhammad bin Ali Ridha bin Aqa Jani). Salah satu
karyanya berupa komentar atas Qabasat-nya Mir Damad. Diduga ia belajar
kepada dua orang guru yakni Mulla Shadra sendiri dan Mir Damad. Tentang
kelahiran dan wafatnya tidak diketahui.
Filsafat Transenden (Al-Hikmah Al-Muta’aliyah)
Sesungguhnya Shadra bukan orang pertama yang menggunakan istilah ini.
Akan tetapi, dialah yang paling efektif dalam menguraikan pengertiannya.
Dalam adikaryanya yang bertajuk Al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar
al-’Aqliyyat al-Arba’ah (lebih dikenal dengan al-Asfar saja), ia
mendefinisikan istilah ini dan menetapkan landasan bagi pendekatan baru
filsafat. Pendekatan ini mencakup pembuktian akal atau demonstrasi logis
(istidlal atau ’aql), intuisi intelektual (kasyf atau syuhud) dan
iluminasi (isyraq), selain wahyu (syari’ah).
Dalam pengantar buku itu, Shadra menyebutkan ketaksukaannya terhadap
para ”ulama” jahil di masa itu dan alasan pengasingannya di Kahak, dusun
kecil dekat Qum. Ia mencurahkan diri lebih dari 10 tahun untuk
bertafakur dan latihan spiritual semacam zikir. Di akhir uzlah-nya itu,
Mulla Shadra mengklaim dirinya telah mempelajari rahasia-rahasia semesta
dan misteri-misteri yang tersembunyi darinya. Katanya, ”Apapun yang
kuketahui melalui demonstrasi rasional dan intuisi intelektual yang
terpancar. Aku dianugerahi rahasia-rahasia ketuhanan dan dihembusi
kekayaan Singgasana.”
Kata kunci yang melambari Filsafat Transenden adalah wujud. Dalam
filsafat ini, wujud lebih menonjol daripada esensi. Semua esensi,
menurut Shadra, merupakan rekaan akal manusia belaka. Dari tiap-tiap
sosok yang ditemuinya, akal manusia menjumput suatu gambaran yang
disebut dengan esensi. Akan tetapi, sisi yang memberikan efek dan
membentuk bangunan alam semesta adalah sisi wujud, bukan sisi esensi.
Adalah mustahil, secara filosofis, esensi dan wujud sama-sama mewujud
sebagaimana mustahilnya esensi dan wujud tidak mewujud. Menurut Shadra,
wujud adalah asal-usul dan realitas tunggal yang merangkum segala
sesuatu.
Kehebatan intektual dan ketinggian maqam
spritualnya disaksikan banyak ulama dan filosof. Sayyid Abul-Hasan
Qazwini menganggapnya lebih sempurna dari Ibnu Sina dalam bidang
filsafat dan kedokteran. Thabathaba’i menganggapnya sebagai tokoh tak
tertandingi dalam rasionalitas dan spritualitas, serta berjasa dalam
mengembalikan kejayaan ilmu-ilmu Islam berdasarkan ajaran-ajaran
Ahlulbait. Imam Khomeini sangat mengagumi dan senantiasa menjadikannya
sebagai rujukan dalam filsafat dan irfan. Menurut Murthada Muthahhari,
Mulla Shadra dengan cahaya hikmahnya telah menyinari cakrawala filsafat
sebelum dan sesudahnya.
Demikianlah pemikiran Shadra yang terus
menjadi inspirasi bagi filosof-filosof Muslim modern, seperti Imam
Khomeini, Murtadha Muthahhari, Allamah Thabathabai, Jawadi Amuli, dan
lain-lain.
Imam Khomeini (1902 – 1989 M)
Sayyid
Ayatollah Ruhollah Khomeini (lahir di Khomein, Provinsi Markazi, 24
September 1902 – meninggal di Teheran, Iran, 3 Juni 1989 pada umur 86
tahun) ialah tokoh Revolusi Iran dan merupakan Pemimpin Agung Iran
pertama. Ayahnya adalah Sayyid Mustafa yang berasal-usul dari Kintar,
sekitar 40 mil arah timur laut Locknow, India dan bergaris keturunan
dari al-Husain dari Musa al-Kazhim. Sedangkan ibunya, Hajar, adalah
putri Mirza Ahmad Mujtahid Khunsari, seorang guru madrasah di Najaf dan
Karbala. Ayahnya meninggal dunia ketika beliau berumur lima bulan, dan
dalam usia 16 tahun, ibunyapun meninggal dunia. Beliau mendapat
pelajaran menulis dan membaca dari Mirza Muhammad. Pada tahun 1918, ia
menempuh pendidikan Islam di dekat kota Arak dan kemudian di kota suci
Qom, di mana ia mengambil tempat tinggal permanen dan mulai membangun
dasar politik untuk melawan keluarga kerajaan Iran, khususnya Shah
Mohammed Reza Pahlavi.
Dalam Kasyf Al-Asrar, buku yang
ditulisnya pada 1945, untuk menjawab tuduhan-tuduhan pada Syi’ah, dia
tidak hanya menhimpun ayat-ayat, hadis-hadis dan argumentasi rasional,
tetapi juga merujuk kepada para ahli hikmah dan irfan seperti Ibnu Sina,
Suhrawardi, Mulla Shadra dan dalam buku yang sama, ia mulai pula
memperkenalkan pemikirannya yang belakangan termashur sebagai sistem wilayah al-faqih.
Uji utama pertamanya – dan rasa politik
pertama yang sesungguhnya – tiba pada 1962 saat pemerintahan Shah
berhasil mendapatkan RUU yang mencurahkan beberapa kekuasaan pada dewan
provinsi dan kota, yang akhirnya menimbulkan kekacauan. Sejumlah
pengikut Islam keberatan pada perwakilan yang baru dipilih dan tak
diwajibkan bersumpah pada Al-Qur’an namun pada tiap teks suci yang
dipilihnya. Khomeini menggunakan ini dan mengatur pemogokan di seluruh
negara yang menimbulkan penolakan pada RUU itu.
Khomeini menggunakan posisi yang kuat ini
untuk menyampaikan khotbah dari Faiziyveh School yang mendakwa negara
berkolusi dengan Israel dan mencoba “mendiskreditkan al-Qur-an.”
Penangkapannya yang tak terelakkan oleh polisi rahasia Iran, SAVAK,
memancing kerusuhan besar-besaran dan reaksi kekerasan oleh pihak
keamanan yang mengakibatkan kematian ribuan orang.
Khomeini terus berusaha selama
tahun-tahun berikutnya dan pada peringatan pertama kerusuhan pasukan
Shah bergerak ke kota Qom, menahan Imam sebelum mengirimnya ke
pembuangan di Turki. Ia tinggal sebentar di sana selama sebelum pindah
ke Irak di mana melanjutkan pergolakan untuk jatuhnya rezim Shah. Ketika
masih tinggal di pengasinannya d Najaf, pada 1972, Ayatullah Khomeini
menjalankan tugas untuk mendidik murid-muridnya dalam hal akhlak dan
keruhanian dengan memberikan kliah “Jihad Besar” yakni perang melawan
hawa nafsu. Dalam bukunya 40 hadis, dia membahas soal irfan ini secara
panjang lebar dengan menerangkan bahwa pertemuan dengan Allah bukanlah
bagian dari pengetahuan rasional tentang esensi ilahi, melainkan “suatu
penyaksian (syuhud) irfani yang menyeluruh yang dicapai lewat
penglihatan batin (bashirah). Artinya , Ayatullah Khomeini menganggap
dengan kematian, para syuhada telah menyibak “hijab-hijab (yng menutupi)
cahaya demi mencapai sumber keagungan (Allah, Swt).
Pada 1978 pemerintahan Shah meminta Irak
untuk mengusirnya dari Najaf, lalu ia menuju Paris selama sementara
profilnya berkembang sebagai refleksi langsung kejatuhan Shah.
Kembalinya Khomeini ke Iran dan ‘Permulaan Revolusi Islamnya’ mendapat
sambutan ratusan ribu rakyatnya di bandara dan ribuan lebih lanjut yang
berjajar sepanjang jalan menuju Teheran. Ayatollah didukung secara
luas oleh para pelajar dan tokoh-tokoh Islam sebagai salah satu marja taklid dan pertama kali mencuatkan wacana wilayah al-faqih sebagai konsep kepemimpinan Islam serta menjadikannya sebagai mata kuliah untuk level bahts kharij (tingkat lanjut).
Pada tanggal 3 Juni 1989, pemimpin besar
Revolusi Islam Iran ini memenuhi panggilan Tuhannya. Jutaan rakyat Iran
mengantarnya ke peristirahatan yang terakhir di dekat pemakaman Behesyte
Zahra, selatan Teheran. Sementara itu, puluhan juta para pencintanya di
seluruh dunia berkabung dan menangisi kepergiannya.
Beliau meninggalkan empat orang anak,
yakni sayyid Ahmad Khomeini (yang wafat beberapa tahun kemudian),
Shiddiqah Mushthafawi, Farida Mushthafawi dan Dr. Zahra Mushthafawi
(dosen filsafat Universitas Teheran).
Thabathaba’i (1903 – 1981 M)
Ayatullah
Allamah Muhammad Husain Thabathaba’i dilahirkan pada tanggal 29
Dzulhijjah 1321 H / 1903 M di desa Shadegan (Propinsi Tabriz) dalam
satu keluarga keturunan Nabi Muhammad Saw yang selam 14 generasi
menghasilkan ulama-ulama terkemuka di Tabriz. Thabathaba’i muda
dibesarkan dalam keluarga ulama intelektual dan religius. Ketika usia
duapuluh tahun berangkat ke Universitas Najaf untuk melanjutkan
pelajarannya. Disana ia mempelajari Syariat dan ushul al-fiqh dari dua
diantara syaikh-syaikh terkemuka masa itu yaitu Mirza Muhammad Husain
Na’ini dan Syaikh Muhammad Husain Isfahani.
Namun menjadi Mujtahid bukan tujuannya.
Thabathaba’i lebih tertarik pada ilmu-ilmu aqliah, dan mempelajari
dengan tekun seluruh dasar matematika tradisional dari Sayyid Abul Qasim
Khwansari, dan filsafat Islam tradisional, termasuk naskah baku
asy-Syifa karya Ibnu Sina dan al-Asfar karya Sadr al-Din Syirazi serta
Tamhid al-Qawa’id karya Ibnu Turkah dari Sayyid Husain Badkuba’i.
Thabathaba’i juga mempelajari ‘ilmu Hudhuri
(ilmu-ilmu yang dipelajari langsung dari Allah SWT), atau ma’rifat,
yang melaluinya pengetahuan menjelma menjadi penampakan hakekat-hakekat
supranatural. Gurunya, Mirza Ali Qadhi, yang mulai membimbingnya ke arah
rahasia-rahasia Ilahi dan menuntunnya dalam perjalananan menuju
kesempurnaan spritual. Sebelum berjumpa dengan Syaikh ini, Thabathaba’i
mengira telah benar-benar mengerti buku Fushulli al-Hikam karya Ibnu
Arabi. Namun ketika bertemu dengan Syaikh besar ini, ia baru sadar bahwa
sebenarnya ia belum tahu apa-apa. Berkat sang Syaikh ini, tahun-tahun
di Najaf tak hanya menjadi kurun pencapaian intelektual, melainkan juga
kezuhudan dan praktek-praktek spritual yang memampukannya untuk mencapai
keadaan realisasi spritual.
Yang membedakannya dari Mulla Shadra dan Sabzewari ialah bahwa ia tidak menggabungkan dzayq
dengan nalar. Ia sangat menjunjung Faidh al-Kasyani, karena begitu
menguasai ilmu-ilmu keislaman sehingga tidak pernah memasukkan sebuah
disiplin ilmu ke disiplin yang lain. Demikian pula ia memuji Ibnu Sina
dan menganggapnya lebih kokoh dari Mulla Shadra dalam burhan dan
argumentasi filosofis. Namun pada saat yang sama, ia terheran-heran oleh
implementasi bru Mulla Shadra terhadap filsafat Yunani dengan
teori-teori seperti ashalatul-wujud, ittihadul-aqil wal-ma’qul dan
al-haraktul-jauhariyyah. Ia menganggap filsafat Mulla Shadra lebih
mendekati kenyataan. Juga menghargai kezuhudan dan khalwat Mulla Shadra.
Thabathaba’i adalah sosok yang memiliki
wewenang keagamaan yang dihormati masyarakat muslim karena mujtahid
yangmendapat gelar unik al-allamah (yang sangat pandai). Namun pada saat
yang sama, ia cukup mengenal baik dunia barat dan suasana kejiwaan para
pembaca barat.
IV. ILMU-ILMU TEKNIK, ARSITEKTUR, ASTRONOMI, KIMIA, SOSIOLOGI
Ilmu-ilmu Teknik, arsitektur, astronomi,
kimia, sosiologi dan sebagainya tidak ( red : belum ) dapat dikemukakan
karena memerlukan buku tersendiri yang lebih besar. Namun akan
dikutipkan dari bahasan para sarjana yang berwenang.
Stephen Briffault dalam bukunya The maaaking of Humanity, London, 1928, hal 190 mengatakan sbb :
“ Walaupun pengaruh yang menentukan dari
kebudayaan Islam terhadap pertumbuhan Eropa tidak hanya dapat dilacak
dari satu aspek tunggal, namun ilmu pengetahuan alam dan semangat ilmiah
adalah aspek yang begitu nyata dan penting pengaruhnya dalam
pembentukan kekuatan, yang membentuk puncak kemampuan tertentu dari
dunia modern dan menjadi sumber utama dari keunggulannya, di mana hal
ini tidak berlangsung dinegeri manapun ( red : di-luar Eropa ).”
Prof. Slamet Iman Santoso, menguraikan dalam bukunya “ Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan “ 1977 – hal 64 sbb :
“ Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam hal ilmu pengetahuan, jasa para sarjana zaman Islam adalah sebagai berikut :
1.Menterjemahkan peninggalan bangsa
Yunani dan menyebar luaskannya sedemikian rupa, sehingga pengetahuan ini
menjadi dasar perkembangan kemajuan di dunia barat hingga saat ini.
2. Memperluas pengamatan dalam lapangan
ilmu kedokteran, ilmu obat-2an, astronomi, ilmu kimia, ilmu bumi, dan
tumbuh-2an. Dalam lapangan tsb mereka mengikuti dasar pemikiran yang
diwariskan oleh bangsa Yunani.
3. Menegaskan system decimal dan dasar2
aljabar. Dalam hal ini sumbangan para sarjana dari zaman Islam lebih
maju daripada para pendahulunya di zaman Yunani.
Herbert A. Davies, dalam bukunya “ An Outline History of the world “ Oxford University Press, 1969, menulis sebagai berikut :
“ Mereka ( orang-2 Muslim ) mendirikan
universitas-universitas besar yang selama beberapa abad melebihi apa
yang dijumpai oleh Eropa Kristen. Universitas-universitas di Baghdad,
Cairo dan Cordova khususnya termashur. Universitas Al-Qohiroh punya
mahasiswa sebanyak 12000 orang. Perpustakaan2 besar dibangun, beberapa
buah diantaranya berisi beratus ribu jilid buku yang semuanya terdaftar
dan tersusun rapi. Banyak orang Kristen yang belajar pada universitas
Cordova membawa ilmu dan kebudayaan kenegeri-negeri asal mereka serta
pengaruh Universitas Spanyol atas universitas Oxford dan universitas2
yang mereka bangun di Italia Utara tentunya besar. Salah seorang
mahasiswa Kristen yang paling termashur pada universitas Kurthubah (
Cordova ) adalah Gilbert, kemudian hari Paus Sylvester II, yang berbuat
banyak untuk memperkenalkan ilmu pasti kepada Eropa. Selain itu Herbert
A. Davies juga bekomentar :
“Dunia ilmu pengetahuan banyak berhutang
budi kepada kaum Muslimin. Barangkali merekalah yang menemukan apa yang
disebut angka-angka Arab ( system desimal ); aljabar secara practical
ciptaan mereka;mereka memajuka ilmu ukur ssudut, optika dan ilmu
bintang. Merekalah yang menemukan lonceng gantung ( pendulum ); dan
dibidang pengobatan mereka telah mencapai kemajuan isstimewa, mereka
menyelidiki ilmu faal dan ilmu kesehatan, mereka melakukan
pembedahan-pembedahan tersulit yang pernah diketahui ) red : pada zaman
itu );mereka telah mengetahui cara membius;serta beberapa cara mereka
mengobati orang2 sakit sampai sekarang masih dipakai. Ketika di Eropa
secara praktikal gereja melarang praktek pengobatan, ketika upacara
agama seperti mengusir setan-setan, reka-rekaan dianggap sebagai
penyembuhan bagi penyakit-penyakit, ketika tukang-tukang obat palsu dan
badut-badut amat banyaknya, dikala itu kaum Muslimin telah mempunyai
ilmu kedokteran yang sesungguhnya.”
Demikian gambaran umum dari semangat umat Islam ( abad VII sampai abad XX )
dibidang ilmu pengetahuan serta posisi dan peran mereka yang mendasar
dalam mengembangkan peradaban manusia. Begitulan secara sekilas gambaran
dari salah satu segi apa yang disebut “Zaman Keemasan Islam”. Mereka
berhasil memainkan peran spektakuler tersebut karena meraka melaksanakan
petunjuk-petunjuk serta berpegang teguh kepada ajaran Al-Qur’an yang
mereka pahami dan hayati dengan seutuhnya. Jiwa dan semangat Al-Qur’an (
beserta sunnah Rosulnya ) itu yang mereka baca dibibir, mereka baca
dihati, mereka jalankan dalam action tangan dan kaki serta memenuhi alam pikiran mereka, telah membawa mereka maju dan memimpin peradaban manusia.
( Sumber : “Para Filosof ” oleh Muhsin Labib, “ Kedudukan Ilmu Dalam Islam “ oleh Dr. H. Muhammad Th. , wikipedia.org, fajartimur)